Kita pernah menggelar tikar di bawah langit, dan berikrar bahwa kita adalah berkah bintang Kejora. Memaknai semua sebagai restu leluhur dan Yang kuasa. Gunung pun kita daki. Menaklukkan malam dan pagi hanya untuk menegaskan bahwa kita bisa bersama selama sisa masa. Kita menetaskan keringat bersama agar kita yakin bahwa matahari juga telah memberi restunya.
Bukankah kita memulai baiat ditengah jembatan dibawah kubah rumah Tuhan yang utama. Saat senja Monas yang begitu anggun dengan cahaya buatan menggiring kita berlari sambil bergandeng tangan. Kita pun naik kereta. Itu pengalaman pertamamu meluncur diatas rel meski tempatmu tinggal hanya sedempal dari stasiun berada sejak puluhan waktu silam. Kau terharu, aku bahagia. Kau merayu, aku hanya bisa bilang iya.
Sepeti orang habis melahirkan, pipimu merona merah. Kecapaian tetapi sangat bahagia. Meski seperti kehabisan tenaga, kau terus mengumbar senyum seolah tak bisa menyembunyikan bahagia. Sepanjang Jakarta-Bandung kau tak kuasa, menyandarkan kepala dibahuku. aku tahu pasti, kau bahagia.
Jalan tak selalu lurus, lika-liku adalah miliknya. Pernah kita coba untuk saling murka, tetapi kita tak pernah membara, menghangus yang telah ada. Tak sulit untuk tahu bahwa kita sejiwa.
Musim berganti, hujan datang tanpa diundang.......
Aku bisa bilang apa bila hujan turun deras tanpa tahu mengapa. Kau menyebut ”kuasa Tuhan adalah jalannya”. Kau pun tidak dapat mengerti apalagi bertahan. Kau linglung, ”Tidak perlu penjelasan bila kini air yang menggenang telah menyapu yang ada. Tak tersisa. Tidak pernah dipaksa ini alamiah, semua hilang, hanya debu akan kembali ada saat mentari tiba. Akan sejuk kembali saat hujan lain datang dan pergi sesuka hatinya”. Datar kau berkata, sambil menyimpul senyum dan air mata. Entah perasaan apa.
Aku tak bisa bertanya bahkan menatapmu tepat saat semuanya menjadi berbeda. Kau bilang ”kau membuatku tak nyaman”. Lanjutmu, ”Aku bisa bilang apa. Karena hujan telah menyapu semuanya. Tak tersisa. Carilah musim lain dengan suhu penuh warna, mungkin kau tak akan tenggelam, terlarut, dan tak pernah ingat bahwa kita titisan Kejora.”
4 comments:
emang ang.
putus cinta bisa membuat seseorang mengeluarkan potensi terbaiknya dalam berprosa, hahahahha...
betul guh?
saat terbaik adalah ketika berada pada titik terdalam emosi. dan itu bukan sekarang....3 bulan yang lalu. saking bagusnya, prosanya gak laya kedar. gw bakar semua.....hiks hiks hiks.
klo punya lo pasti udah karetan. soalnya lo jomblonya an uadah lama hehehe
iya ga nay?
hah? sonny jomblo skrg? iya gituh?
hihihihiihi...
iyaaaa...
aku jomblo, bebas, dan bahagiaaaa..
Post a Comment