Thursday, January 10, 2008

Agama Dan Bangsa Indonesia


Beberapa bulan terakhir, bangsa ini, selain heboh karena bencana alam, disibukkan juga oleh huru-hara MUI, Menteri Agama, kepolisan dan organisasi kegamaan mengenai “aliran sesat” atau yang disebut Pak Menteri Maftuh Basyuni “penyimpangan yang menodai agama” (Kompas, 04/01/08). Dunia juga dikejutkan dengan tewasnya Benazir Bhutto, 54 tahun, pemimpin partai opisisi utama Pakistan, pada 27 Desember 2007 lalu. Beberapa fakta yang saya temui seperti terpecah-pecah hingga akhirnya mengerucut pada pernyataan Rocky Gerungan, “Tahukah negara dimana alamat ‘Surga’ dan berapa nomor telepon ‘Neraka’? berhakkah negara menentukan ‘akhirat’ seseorang?” (Memastikan Kedaulatan Rakyat, Kompas 03/01/08). Dan kata kunci yang bisa saya cerap adalah: Negara dan Agama.

Tema ini tak habis diperbincang sepanjang sejarah peradaban “toe” dan “krasi”, serta telah meminta ribuan korban nyawa namun hanya menghasilkan dua kesimpulan yang selalu bertentangan: Negara-agama vs sekular. Di negara kita, perdebatan ini dimulai sejak upaya pembangunan dasar negara dan Pancasila. Melalui perebutan ideologi – dalam perdebatan Piagam Jakarta – hingga perebutan kekuasaan melalui serangkaian pemberontakan, dan konon terorisme, yang hingga kini belum tampak akan usai.

Desakan teokrasi yang sangat kuat muncul dari Islam, meskipun sejarah dunia juga pernah mencatat upaya fundamentalisme Kristen, Hindu dan Yahudi dalam tuntutan serupa meski dalam kadar yang berbeda-beda. Padahal dalam Islam, setahu saya, tidak ada anjuran yang mengharuskan pemeluknya membangun daulah ilamiyah. Dan harus diakui, hingga kini konsep “negara islam” masih menjadi perdebatan dan belum jelas. Masalah konsep saja, pertanyaan-pertanyaan seperti yang diajukan Gus Dur, apakah yang dimaksud dengan pandangan Islam tentang negara, hanya nilai-nilai dasar yang melandasi berdirinya sebuah negara ataukah norma-norma formal yang mengatur kehidupan di dalamnya atau kelembagaan yang ditegakkan di dalamnya atau gabungan ketiga-tiganya? juga belum menemukan jawaban. Bila kini ada beberapa negara yang berdasarkan agama itu semata kesepakatan sosial dan penegasan identitas bangsanya seperti yang dilakukan Iran dan Pakistan.

Bangsa ini sendiri telah memilih pluralisme “Binneka Tunggal Ika” dan demokrasi, serta penganut “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang sekular, dalam pengertian bukan negara berdasarkan agama. Dipilihnya demokrasi dan pijakan sekular bukan pula upaya menafikan agama dan moralitas. Pilihan ini muncul dari pandangan bahwa masalah ketuhanan merupakan esensi yang amat suci dan tinggi. Hingga tidak pantas kesucian Tuhan (agama) harus turun dan dikotori oleh pertengkaran politik negara yang penuh dengan intrik dan obsesi berlebih terhadap kekuasaan. Bagaimanapun kebenaran Tuhan lebih tinggi dari kebenaran negara. Kepercayaan terhadap Tuhan bukan suatu yang bisa dirasionalkan, hingga dapat dibenarsalahkan dengan mudah seperti matematika. Kepercayaan terhadap Tuhan merupakan pergulatan hati, jiwa serta perbuatan yang didasari olehnya. Demi kesucian dan kemurniannya, negara tidak berhak turut campur, apalagi sampai memaksanya.

Kewajiban negara adalah menjamin ketertiban hukum, dimana yang menjadi acuan adalah tindakan warga negara yang secara eksplisit melawan hukum, bukan karena keyakinannya. Negara memiliki tugas menjamin kesejahteraan rakyat dan mengayomi keyakinan yang dipilih warganegara agar tidak dicederai yang lainnya. Kebebasan terhadap suatu kerpercayaan ini dijamin dalam Undang-Undang Dasar tanpa menyebutkan golongan tertentu dilarang. Toh Negara juga tidak bisa menentukan nantinya mana warga negara yang masuk surga dan mana yang terjerembab dalam neraka. Latar belakang “pemberangusan” penganut Ahmadiyah dan “Aliran-Aliran Sesat” melalui kebijakan politik fatwa maupun pengerahan massa adalah sesuatu yang perlu dipertanyakan ulang, karena dengan upaya itu saya tidak melihat agama dan Tuhan semakin dimuliakan. Sebaliknya, yang tampak adalah suatu sinyal yang semakin nyata: Pemaksaan moralitas golongan berkuasa terhadap minoritas. Agama semakin dipertontonkan sebagai kekerasan, ekslusivitas dan alat dominasi.

Demokrasi dan agama memang cenderung kontradiktif, dalam beberpa hal. Agama selalu memiliki obsesi kesempurnaan absolut sebagai pengejewantahan Tuhan Serbamaha. Kebenarannya mutlak dan karena itu cenderung menyalahkan golongan diluarnya. Agama cenderung terjebak pada kemasalaluan dimana sumber referensi ajaran dan acuan ideal terbenam disana. Dipihak lain demokrasi menuntut ketidaksempurnaan, perbedaan pendapat, pembauran identitas dan kerelaan bertoleransi. Namun bukan berarti keduanya akan selalu dipertentangkan. Agama juga bisa tampil lebih inklusif sebagai ajaran yang memuliakan manusia dan menjunjung tinggi perdamaian dan mengupayakan kesejahteraan sosial. Yang terkhir inilah yang dikehendaki Bangsa Indonesia, sebagai mana tertera dalam UUD 45. Sekali lagi, pilihan ini bukan untuk meminggirkan agama. Demokrasi adalah harapan yang membawa keadilian bagi tumbuh-kembangnya keyakinan yang dipeluk secara berdampingan dengan keyakinan-keyakinan lain. Sejarah bangsa ini mencatat, Kementrian Agama dibentuk oleh Kabinet Sjahrir yang dikenal tokoh sekuler, bukan oleh Soekarno yang lebih concern terhadap pemikiran agama.

Karena itu, konsistensi penguasa terhadap ini perlu mendapat perhatian. Kejadian pemberangusan suatu kepercayaan hanya karena perbedaan penafisran dan keyakinan perlu dipertanyakan ulang. Karena hal itu justru akan mencederai hak asasi warga negara. Lagi pula “Allah (Tuhan) Itu Maha Besar. Ia tidak memerlukan pembuktian akan kebesaran-Nya. Ia Maha Besar karena Ia ada, apapun yang diperbuat orang atas diri-Nya, sama sekali tidak ada pengaruh atas wujud-Nya dan atas kekuasaan-Nya. Al-Hujwiri mengatakan: bila engkau menganggap Allah ada hanya karena engkau yang merumuskannya, hakikatnya engkau sudah menjadi kafir” (Tuhan Tidak Perlu Dibela, Abdurrahman Wahid: 1999).