Friday, December 28, 2007

Reaza

Pertemuan kita adalah papasan
Di sebuah titik, pemberhentian rasa

Kau jinjing rokmu dan menatap hujan
Bergegas pergi menyisir jalan

Aku segera pulang, membawa kantong penuh penyesalan
Menjilat ludah kesia-siaan
Kemana kau gerangan?

Ingat Rumah

Seekor kepik berputar
hinggap diujung daun padi yang tertunduk bergoyang-goyang
Memilih hanya yang hijau
Di dalam genangan air bergelombang penuh bayang


Kemarin malam purnama menampakkan seluruh warnanya
Bintang menyambut dengan kedipan
Udara berbaur dengan embun
Tempat diamana napas layak dihembuskan


Semut hitam, merah dan coklat berkejaran dengan cacing berbalut tanah
Lumpur gembur berlapis kotoran hewan mamalia
Memberi jalan hidup bagi yang bertelur dan memamah
Mengurai sebuah nama yang disebut Desa


Anyaman bambu di topang kayu dari pekarangan
Ditanami tikar dipagari jagung dan rerumputan
Air kendi dan sebakul nasi jagung berkarip garam
Hamparan jerami dan joglo buatan dimana kemalasan ditumpahkan


Bangkai orok berlindung runcing dan berterang damar
Berpintu salam dan kesopanan
Berteman persaudaraan dan kesahajaan
Bersemayam sejuta damai cerita moyang

Aku ingin pulang

Terlihat


Biarakan aku menusukmu dengan belati hadiah ayah-ibu
Biarkan kau membiru, menyapa maut yang selalu terburu-buru
Dalam lipatan wajah ramahmu, kau selipkan berjuta senyawa benci
Terakhir kau menyingkapku, dalam telanjang memilukan
Saat itu, tak kuduga mentari menjadi terang
Hingga aku melihatmu dalam tatapan berang
Sewajarnya kau bilang, “ sudah saatnya untuk membalas”.
Kau tertawa, aku pucat
Puas, kau menatap penuh tanya
baru tahu, sorot kebencian
pada terang, pada malam penuh bintang
Sebelum semua usai, aku nyata sadar
hidup sebatas tawa dan dendam