Thursday, February 7, 2008

Sudahlah



Tak ada air mata lagi untukmu, yang kesekiankalinya meliuk memutari pagar teralis besi. Kukagumi awal pertemuan kita, yang terang diguyur keringat. Namun waktu selalu mengungkap apa yang perlu diketahui, bila sudah masa. Menumpahkan semua alasan agar kita tidak lupa, akan siapa kamu, siapa kita dulu kala.


Sungguh aku tidak menduga bahwa nila begitu nyata. Penciptaanya hanya setetes, mengotori warna susu di belanga. Tak perlu kau lupa, bahwa Tahu yang memilih jalannya. Jangan turut dalam gegap siapa yang kuat dan nyata. Bukan kompetisi, karena kau tidak semata piala, tidak pula cukup mulia. Adam-Hawa bukan serpihan, tapi doa yang digariskan.


Tak ingatkah bahwa aku pernah mempercayai ramalan kakekmu dan isyarat istikharoh? Lupa bahwa semua tanda bisa ditafsirkan dengan mata buta. Dengan banyak macam tergantung udara, tergantung siapa. Hanya saja kala itu memang kita dimabuk cinta. Semua aroma adalah bunga. Hingga pegangan tanganmu semakin melorot diujung jamari tak terkira. Terpenggal duri Duryudhana. Paripurna!