Monday, November 26, 2007

Keringat

(Kamis 22 Nov 07)
Sudah tiga hari Jakarta tidak diguyur hujan. Jakarta kembali membara. Kebutuhan keringat beranjak kembali ke posisi biasa. Posisi dimana penduduknya dituntut dan diharuskan mengkonsumsi paling sedikit 8 gelas air sehari untuk terus bertahan di Jakarta.
Batapa rakusnya Jakarta akan keringat?



Suhu rata-rata Jakarta di musim hujan 25 – 33 Derajat Celsius. Titik maksimal suhunya hanya bisa dikalahkan Surabaya, 25 – 35 Derajat Celsius. tetapi saya yakin, di Surabya dan sekitarnya tidak akan sulit mencari tempat yang rindang-sejuk dengan pohon-pohon hijau. Saya bilang demikian karena saya warga Jawa Timur yang mengetahui geografis Surabaya. Kini kita hitung-hitung Jakarta, berapa banyak lahan hijau yang tersisa di Jakarta. Hawa sejuk? Bisa didapat tetapi tidak dengan hijau-hijau. Kita harus mencari ruang ber- AC, mengahadirkan kesejukan lewat olah freon.
Tampak labih buruk bila kita hitung pula waktu tempuh setiap pengguna jalan menuju tempat kerja. Ini penting karena disnilah biasanya kucuran keringat sangat terasa. Rata-rata penduduk Jakarta mengahabiskan waktu 4 jam (pergi-pulang) di perjalanan. Itu bagi yang sudah bekerja. Bagi yang belum bekerja kemungkinan akan berada di jalan seharian untuk menghantar berkas lamaran ke mana-mana. Kondisi dalam angkutan umum yang berdesak-desakan tentu menambah berlipat-lipat kepanasan dirasakan. Ini hanya faktor suhu yang merupakan salah satu elemen dominan pemeras keringat di Jakarta.



Yup, karena ada faktor lain. Jakarta cukup rakus keringat bukan karena tingginya suhu dan kelembapan saja. Faktor sosial seperti ketegangan, stress, persaingan, kerja overload, inscurity, ketidakpastian, putus asa dan segudang penyakit sosial lainnya yang ditimbulkan Jakarta merupakan faktor penting lain yang mampu memaksa kita berkeringat meskipun berada dalam ruang ber-AC.


Nilai keringat kemudian agak buram. Benarkah keringat masih menjadi simbol kerja keras? Tukul Arwana sering melempar katakritaslisasi keringat”. Tetapi di Jakarta, dengan motor diparkir, lalu maen gaplek di gardu pinggir jalan saja sudah keringetan. ”Betul sudah keringatan, tatpi tidak mengkristal”, bagitu mungkin jawaban Tukul.


Makna dan nilai keringat, saya yakin, tidak hilang. Tetapi Jakarta rasanya semakin tidak menghargai keringat. Entah nilai-tukar-keringatnya yang turun atau daya-tawar-Jakartanya yang semakin menguat. Yang jelas, semakin hari Jakarta semakin membutuhkan volume keringat yang makin besar untuk memuaskannya. Perkiraan saya, Nilai keringat memang tidak hilang, tetapi daya tukarnya menurun terhadap satuan hidup-di-jakarta. Bila tahun-tahun sebelumnya satu gelas keringat sudah cukup untuk meraih daya-tawar-Jakarta guna ditukar dengan bahan makanan untuk 1 hari hidup-di-jakarta, kini level itu turun dan dibutuhkan dua sampai tiga gelas keringat untuk nilai tukar yang sama. Jakarta terus menekan hingga inflasi nilai keringat melaju kencang.


Jaman kini di Jakarta, Karyawan bekerja 8 jam sehari, 40 jam seminggu, 120 jam sebulan bukanlah catatan yang mengesankan. Ini baru derajad minimal yang memang sewajarnya kudu dipenuhi. Seorang suami berangkat kerja saat anaknya belum bangun tidur dan pulang saat anaknya sudah terlelap adalah rutinitas sangat biasa. Istrinya pun tidak akan bertanya, komplain, atau marah tetapi dengan senang hati memakluminya. Kosep waktu pagi-siang-malam tidak lagi bermakna apa-apa. Satu-dua jam bukan waktu yang lama, seperti uang 100 perak yang selalu dikembalikan dengan sebiji permen Relaxa. Konsep utamanya beralih dari kaharmonian alam, ketanangan, kedamian menjadi karir, target, gaji, naik pangkat dan PHK. Tentu uang adalah penyebabnya. Dan semua memerlukan semakin banyak keringat.

Selasa 20 Nov

Siang ini saya hanya perlu kopi. Kalau boleh yang sangat dingin. Kondisi saya memerlukan penyegar macam itu. Saya mengantuk, sedikit pusing dan kegerahan. Untuk mnyantap makanan berat rasanya tidak mungkin, apa lagi yang sedikit pedas. Beberapa hari ini perut say sedikit panas, tanda-tanda isi perut mengencer. Lagian, saya sudah kenyang berat. Bila ditambah lagi isinya bukannya perut yang bertambah kenyang, mata saya juga semakin tidak bisa menahan kantuk

Kopi dingin, sesatu yang rasanya paradoks. Tetapi semakin diperlukan untuk membantu mengalihkan tekanan-tekanan hidup yang makin berat di jaman ini. Terlebih untuk sebuah kehidupan di jakarta. Pagi ini Kompas memampang sebuah potret yang membuat saya bepikir sekali lagi untuk keluar dan jalan-jalan siang ini. Sebuah foto yang dengan jelas mengatakan " Jangan keluar bila tidak perlu. Dan bila diterjemahkan lebih lanjut akan berbunyi, "jangan pernah menginjakkan kaki di Jakarta". Foto Kompas memasukkan kombinasi kekaucauan jalanan khas jakarta dimusim hujan. Ada hujan yang rintik-rintik tetapi sudah lebih dari cukup untuk menggenangkan jalan MH. Thamrin. Mobil dan motor terlihat seperti adonan cendol dalam mangkuk santan dan gula merah. Bukan hanya karena genangan airnya, ketidakteraturan pengguna jalan (motor naik ke trotoar) faktor lain yang mebuat kesemerawutan Jakarta bertambah suram.

Satu lagi, pesan "jangan ke Jakarta" terlihat bila kita membaca gagahnya para pamong yang melakukan operasi yustisi. Rasanya Jakarta bukan seperti bagian Indonesia. Apa memang Jakarta ibu kota Malaysia? Rasanya kita perlu membongkar patung selamat datang.....

Kopi dingin. Bukan kemanisan mutlak yang saya harapkan. Tentu saja manis yang diperoleh setelah melalui kepahitan-kepahitan. Suatu keharusan untuk merasakan pahit sebelum kita mendapatkan manis. Karena memang hakekatnya manispun tak akan ada tanpa pahit. Itulah kopi. Suatu upaya dengan ganjaran yang wajar.

Dingin lebih berati harapan environmental dimana kita dapat merasakan manis benar menjadi manis. Saat manis diringi kegerahan dan bara emosional dan stress, tentu manis tidak berarti apa-apa. Bahkan, manis tidak lagi menjadi rasa, melainkan rutunitas biasa. Manis harus diiringi kesegaran spritual (lingkungan) sehingga kita bisa merasa manis sebagai nikmat kehidupan.

Bisakah Jakarta hadir sedemikian?