Monday, November 26, 2007

Selasa 20 Nov

Siang ini saya hanya perlu kopi. Kalau boleh yang sangat dingin. Kondisi saya memerlukan penyegar macam itu. Saya mengantuk, sedikit pusing dan kegerahan. Untuk mnyantap makanan berat rasanya tidak mungkin, apa lagi yang sedikit pedas. Beberapa hari ini perut say sedikit panas, tanda-tanda isi perut mengencer. Lagian, saya sudah kenyang berat. Bila ditambah lagi isinya bukannya perut yang bertambah kenyang, mata saya juga semakin tidak bisa menahan kantuk

Kopi dingin, sesatu yang rasanya paradoks. Tetapi semakin diperlukan untuk membantu mengalihkan tekanan-tekanan hidup yang makin berat di jaman ini. Terlebih untuk sebuah kehidupan di jakarta. Pagi ini Kompas memampang sebuah potret yang membuat saya bepikir sekali lagi untuk keluar dan jalan-jalan siang ini. Sebuah foto yang dengan jelas mengatakan " Jangan keluar bila tidak perlu. Dan bila diterjemahkan lebih lanjut akan berbunyi, "jangan pernah menginjakkan kaki di Jakarta". Foto Kompas memasukkan kombinasi kekaucauan jalanan khas jakarta dimusim hujan. Ada hujan yang rintik-rintik tetapi sudah lebih dari cukup untuk menggenangkan jalan MH. Thamrin. Mobil dan motor terlihat seperti adonan cendol dalam mangkuk santan dan gula merah. Bukan hanya karena genangan airnya, ketidakteraturan pengguna jalan (motor naik ke trotoar) faktor lain yang mebuat kesemerawutan Jakarta bertambah suram.

Satu lagi, pesan "jangan ke Jakarta" terlihat bila kita membaca gagahnya para pamong yang melakukan operasi yustisi. Rasanya Jakarta bukan seperti bagian Indonesia. Apa memang Jakarta ibu kota Malaysia? Rasanya kita perlu membongkar patung selamat datang.....

Kopi dingin. Bukan kemanisan mutlak yang saya harapkan. Tentu saja manis yang diperoleh setelah melalui kepahitan-kepahitan. Suatu keharusan untuk merasakan pahit sebelum kita mendapatkan manis. Karena memang hakekatnya manispun tak akan ada tanpa pahit. Itulah kopi. Suatu upaya dengan ganjaran yang wajar.

Dingin lebih berati harapan environmental dimana kita dapat merasakan manis benar menjadi manis. Saat manis diringi kegerahan dan bara emosional dan stress, tentu manis tidak berarti apa-apa. Bahkan, manis tidak lagi menjadi rasa, melainkan rutunitas biasa. Manis harus diiringi kesegaran spritual (lingkungan) sehingga kita bisa merasa manis sebagai nikmat kehidupan.

Bisakah Jakarta hadir sedemikian?

7 comments:

sonn said...

bisa ang.

jakarta bisa menyenangkan koq :)

asal lo buta, atau tuli, atau pura2 gila..

Burhanuddin Adi Firdaus said...

tapi sayangnya Jakarta cuman ada 1,seperti Jember Tercinta

*jarno* said...

tenang kawan, bersama2 kita taklukkan jakarta..
kalo ga bisa juga, yaudah, mulih ae mas...
lah gua mulih kemana? jkt?
lu kmana sonn? condet? itu jkt juga kan?
huehehehh..

sonn said...

enggak.

gw balik ke kampung halaman: north london, sampingnya highbury :D

Burhanuddin Adi Firdaus said...

highbury....north london, rasanya pernah denger....mananya pamulang?

anginteras said...

enakan kembali ke lobang nyokap

adem

aman

makan gampang

tiap malem dielus2 ama burung bokap

sonn said...

goblogggg!!

pake akun anginteras pula si oon ini...